BANDUNG DAHULU DIKENAL SEBAGAI KOTA TAMAN
Dr. Dibyo Hartono
Prinsip pengembangan urban seharusnya
bertujuan untuk menjadikannya sebuah karya desain lingkungan yang
dilandasi oleh estetika ilmiah. Selain melukiskan perkembangan
lingkungan kehidupan sosial dan latar belakang sejarah budaya manusia
masa lalu, desain lingkungan juga harus berorientasi pada pengembangan
nilai-nilai yang berharga bagi generasi masa depan (Jon Lang, Urban
Design, 1994: 106).
KOTA
BANDUNG KINI KURANG MEMILIKI RUANG TERBUKA HIJAU
Bandung awal abad ke-20 dikenal sebagai
Kota Taman atau ‘Tuinstad’, karena dahulu terdapat banyak taman yang
telah memperindah kota. Empat buah taman yang sangat dikenal waktu itu
diantaranya adalah Taman Ganesa yang diberi nama Ijzerman Park, Taman
Maluku atau Moluken Park, dan Taman Lalu Lintas atau Insulinde Park.
Sebuah lagi Taman Bunga yang berada disebelah selatan Kantor Wali Kota
sekarang, dahulu dikenal dengan nama Pieters Sijthoff Park. Taman-taman
tesebut masa lalu terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga
dapat bersantai dengan bebas menghirup udara bersih di dalamnya. Kini
Kecuali Taman Ganesa, taman-taman tersebut terasa semakin pengap, karena
fungsinya bukan lagi sebagai taman, akan tetapi lebih sebagai tempat
parkir kendaraan bermotor. Taman-taman tersebut sekarang semakin
terkesan tertutup, sehingga masyarakatt takut untuk masuk kedalamnya.
Pengalaman bagi seorang dosen sebuah Perguruan Tinggi yang lalu, yang
bekerja demi kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan pernah menjadi
heran, karena dilarang memotret taman dan gedung Balai Kota didalamya.
Begitu pula selain pertamanan, keindahan
kota Bandung waktu berkembang terus dengan berbagai sarana pertokoan,
perhotelan, pemandian, sehingga dikenal sebagai Kota Wisata (Touristad)
yang indah dan nyaman. Kemajuan pembangunan pada waktu itu dapat menarik
ribuan masyarakat Eropa untuk tinggal di kota Bandung, serta penduduk
kota mendekati jumlah tiga ratus ribu orang. Kini jumlah penduduk telah
meningkat menjadi tiga juta orang, atau sepuluh kali lipat waktu itu.
Sehingga untuk memperoleh kenyamanan hidup penduduk maupun daya tarik
pariwisata, semua pembangunan sarana tersebut volumenya juga sehaurnya
seimbang. Bukan hanya demi PAD, pemerintah lebih mementingkan membangun
FO, Mall, Super Mall, Hotel dan Apartemen Mewah dan lupa membangun Rusun
dan Ruang Terbuka Hijau, Kota yang lebih “Membiarkan matinya Pasar
Tradisional, dan tumbuh Kaki-Lima di seluruh sudut dan pelosok jalan,
sehingga menjadikan “Bandung sebagai Kota Kaki-Lima” yang sangat
menyedihkan.
Bagaimana wisatawan akan dapat menikmati
keindahan lingkungan kota dengan nyaman, kalau kota tanpa sarana jalan
kaki (pedestrian). Kalau adapun pada umumnya sangat sempit, rusak dan
tidak layak untuk pejalan kaki. Yang agak lebar, penuh kaki-lima.
BANDUNG PERLU MENAMBAH RUANG
TERBUKA HIJAU
Sebuah taman alamiah yang terletak di
sebelah timur Kampus ITB, dimasa Hindia Belanda direncanakan untuk
dikembangkan menjadi Kebun Raya Kecil.dengan bantuan ahli-ahli dari
Kebun Raya Bogor. Kini ruang tersebut telah terdesak oleh pembangunan
fisik, dan tinggal dengan apa yang dikenal sebagai Lebak Siliwangi, yang
masih tersisa setengahnya dengan hutan terbuka. Bila bagian ruang
terbuka timur telah dikembangkan oleh ITB menjadi pusat kegiatan budaya
seperti pertemuen dan pameran, bagian tengah untuk olah raga yang sangat
berharga dan berjasa, yang selalu penuh-sesak dengan kegiatan seluruh
lapisan masyarakat. generasi tua dan muda yang bebas Berjalan Cepat,
Tennis, Renang, Sepak Bola, Taichi, Hokey, dan lain sebagainya selalu
penuh sesak .
Oleh karena itu dibagian barat dan
utaranya harus tetap menjadi Ruang Terbuka yang selama ini telah tumbuh
dengan tanaman lindung yang semakin hijau, sehingga telah menjadi salah
satu paru-paru kota Bandung yang sangat penting. Sebuah hutan yang masih
memiliki sumber-sumber air alamiah yang keberadaannya dinilai sangat
positif, yang harus dapat digunakan untuk ‘kegiatan rekreatif dan
edukasi non-formal generasi muda’. Dengan kekayaan serta keindahan
lingkungan alamnya yang sangat unik, mungkin hanya satu-satunya yang
lembah terbuka hijau seindah BAKSIL. Seharusnya pemerintah tinggal
mengembangkan dan mengelola sebagai ‘Kebun Raya Kecil‘ yang dilengkapi
dengan berbagai Tanaman Langka, Green House dan Museum Ikan Air Tawar
dari ikan yang dapat ditemukan di Sungai Cikapundung. Sarana rekreasi
dan pendidikan non formal untuk kepentingan generasi muda seperti ini,
banyak ditemukan di negara-negara maju.
LEBAK SILIWANGI OBYEK EKOWISATA,
BUKAN RESTORAN LAGI
Dengan beberapa contoh permasalahan
tersebut, Lebak Siliwangi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang
didalamnya telah tumbuh dan semakin banyak tanaman pelindung saat ini,
tidak dibenarkan bila didalamnya dibangun bangunan yang tidak menunjang
fungsi hutannya. Selain itu bila pengelolaan diberikan kepada pihak
swasta, maka pembangunannya pasti akan lebih banyak memikirkan bagi
kepentingan bisnisnya saja. Oleh karena itu sudah sepantasnya
pengelolaannya oleh pemerintah sendiri. Pelestarian tanaman yang saat
ini sudah tumbuh menghijau di ruang terbuka tersebut, adalah sudah
sangat sesuai dengan kegiatan pemerintah dalam penanaman pohon,
pelepasan burung, dan pembuatan sumur-sumur resapan di lahan-lahan
terbuka kota (Haru, Ketua Komisi A. DPRD, Pikiran Rakyat. 17-9-2010).
Sumber; info bandung
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking